[review] Cabin Notes, Cerita Inspiratif Seorang Pramugari

Cabin Notes, cerita inspiratif seorang pramugari. Berawal dari sebuah cita-cita dan mimpi sejuta wanita, pengejar cita-cita tsb dilabeli flight attendant wannabe. Kemudian teringat masa di mana, aku hunting open recruitment maskapai baik lokal maupun luar. Banyak pengalaman yang kudapatkan, meskipun mimpi dan cita-citaku tidak tercapai, namun bukan berarti patah semangat. Tombol follow di Instagram pun kusematkan, otomatis diriku menjadi followernya. Ya, beberapa akun pramugari masuk dalam daftar Instagramku, "Kok kepo?" Bukan...bukan begitu. Nggak selamanya kepo berkinotasi negatif, terkadang pelajaran dan hikmah mengenai kehidupan kudapatkan dari keeharian mereka, para pramugati cantik tsb. Seperti beberapa cerita inspiratif dalam buku Cabin Notes ini.

Kenangan Tak Berujung

"Kalo kita tinggal di satu kota yang sama, pasti sudah saling bertemu." ucap Jo di ujung telepon. Mey hanya terdiam, tak membalas apa yang diucapkan oleh Jo barusan.
...

Masih hangat dalam ingatannya, bagaimana dulu Jo melesapkannya dalam ketidakpastian. Hingga suatu hari ia menerima sebuah undangan pernikahan antara Jo dan wanita lain, selang sebulan setelah ia memutuskan untuk menikah. Dalam resah Mey bergumam "Kenapa, kenapa bukan namaku yang terpatri di undangan tsb?" [dasar cowok].

Selang setahun, takdir mempertemukan mereka kembali, dalam suatu bisnis meeting. Di lantai 20 sebuah gedung perkantoran di pusat kota Bandung. Mey masih tetap berdomisili di Bandung. Sedang Jo ternyata sudah pindah menetap di Jakarta setelah ia bermigrasi dari Batam.

Antara Bandung dan Batam. Ya, dulu keduanya menjalani hubungan jarak jauh, sebuah hubungan yang menurut sebagian orang sulit untuk dilalui. Apa lacur, perkataan sebagian orang tsb nyatanya benar-benar terjadi pada kisahnya. Kisah yang tak pernah benar-benar berakhir, hingga keduanya dipertemukan kembali siang itu di satu meja, di ruang meeting, dan duduk bersebelahan.

Jo menyodorkan kartu nama, Mey masih bungkam. Ia terima kartu nama tsb, namun bibir ini kelu tak tahu ingin berucap apa "Duh Gusti, kenapa harus ketemu lagi sih?" bathin Mey.

Sejuta tanya tersirat di wajah Mey yang linglung. Sejak kapan Jo menginjakkan kaki di Bandung untuk urusan bisnis meeting. Apalagi sekarang ia berkecimpung di dunia yang berbeda dengan dulu sewaktu mereka menjalin hubungan.
Jo menyadari kebekuan ini. Apalagi, tak sedetik pun Jo memalingkan wajah dari wanita yang pernah singgah di hatinya dulu.

"Aku pindah perusahaan, keluar dari tempat yang dulu. Ada tawaran bagus di Jakarta. Jadi, kenapa nggak kuambil aja?!" Jo mencoba memulai pembicaraan, sekaligus menjawab kebingunganku yang mungkin terlihat jelas di raut wajahku "Ah, bodohnya aku...buat apa juga aku masih mau tahu tentangnya." sanggah Mey dalam hati, pergolakkan bathin pun tak terelakkan.

Meeting selesai, Jo dengan santai berujar kepadanya "Setelah makan siang, nanti ku telepon."
[deg] membayangkan nomornya menghiasi layar ponsel saja aku tak sanggup. Bagaimana nanti kalo ia memulai pembicaraan.

Mey tertunduk lesu, seolah tak berdaya. Kenangan masa lalunya yang belum pernah benar-benar berakhir, seolah-olah kembali berputar dalam benaknya. Berputar satu persatu membentuk sebuah slide berjudul kenangan tak berujung. Ponsel yang dipegangnya pun nyaris terjatuh...sewaktu mendapati nomor yang tak asing meneleponnya kembali.
...